Jumat, 28 November 2008

TRANSPARANSI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH LOKAL UNTUK MENCIPTAKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh : Nanang Haryono


A. Pendahuluan
Semenjak digulirkannya gerakan reformasi politik tahun 1998 yang diikuti dengan runtuhnya pemerintahan orde baru, kebutuhan untuk adanya suatu pembaruan atau reformasi dalam tubuh birokrasi yang memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi sangat mendesak dilakukan. Pembaruan atau reformasi birokrasi dipandang merupakan langkah strategis menuju penyelenggaraan kepemerintahan yang demokratis dan efisien (good governance). Transparansi publik merupakan indikator yang sangat penting dalam pembangunan tata pemerintahan yang baik. Kebutuhan akan praktek pelayanan publik yang transparan dalam good governance di tingkat pemerintahan daerah saat ini menjadi suatu hal yang tidak terelakkan. Mengingat bahwa sebuah pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan institusi kelembagaan pemerintah yang transparan dan efektif untuk melayani kebutuhan kliennya-publik.[1] Praktek good governance menuntut pemerintah untuk menjamin keterbukaan akses informasi kepada stakeholders terhadap kebijakan publik dari pemerintah baik dalam konteks proses kebijakan publik, alokasi anggaran yang disalurkan untuk implementasi kebijakan maupun evaluasi dan kontrol terhadap praktek kebijakan yang dilakukan.
Keterbukaan akses informasi masyarakat disini menjadi penting agar masyarakat dapat mengawal proses pelaksanaan kebijakan pemerintah sehingga masyarakat dapat memastikan apakah alokasi anggaran yang telah dibelanjakan benar-benar dilakukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, informasi terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan memiliki manfaat untuk mengantisipasi terjadinya praktek-praktek korupsi terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintah yang berupa kebocoran alokasi anggaran yang menjadikan praktek pelaksanaan kebijakan publik menjadi tidak optimal.
Melalui pengedepanan aspek transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, maka publik dapat mengetahui informasi berbagai hal berkaitan dengan kebijakan publik. Informasi mengenai kebijakan pemerintah ini terkait dengan berbagai hal seperti motif tindakan dari birokrasi pemerintahan, bentuk tindakan serta waktu pelaksanaan dan cara tindakan tersebut dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan[2]. Tujuan dari transparansi adalah untuk menciptakan; 1) Informasi terbuka luas untuk masyarakat luas (sebagai data pemerintahan dan pembangunan ekonomi) 2) untuk membentuk aturan-aturan, regulasi dan kebijakan pemerintahan bagi publik secara jelas dan terbuka. Aturan dan prosedur yang transparan mencegah aparatur pemerintah dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan dengan ketersediaan informasi yang akurat dan memiliki interpretasi yang jelas. Aturan dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dapat melengkapi dan mendorong ketepatan prediksi terhadap kinerja pemerintahan, mengurangi ketidakpastian dan mencegah terjadinya korupsi dikalangan birokrat pelayan publik.[3] Perlunya transparansi dalam pengelolaan pemerintahan lokal didasari oleh semangat otonomi daerah yang berpijak pada UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Permasalahan yang sering muncul dalam transparansi publik pada hampir semua pemerintahan lokal diantaranya adalah masalah pengadaan barang untuk kepentingan publik. Tender pengadaan barang untuk kepentingan publik sering dinilai tidak transparan, syarat dengan KKN, tidak efektif dan efisien. Pemenang tender seringkali adalah orang-orang atau lembaga yang mempunyai hubungan khusus dengan para penyelenggara/panitia pelaksana tender. Pada masa orde baru (sebelum 1998) proyek pemerintah dalam pengadaan barang untuk publik seringkali dimenangkan oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa dengan memberikan sejumlah imbalan. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik adalah penghamburan uang rakyat secara besar-besaran menurut perkiraan mencapai sampai 30 persen atau lebih dari nilai biaya total pengadaan barang dan jasa publik. Sayang, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik lebih banyak hanya diperbincangkan saja daripada diupayakan untuk dilenyapkan.[4] ) Begitu besarnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah maka menuntut upaya untuk perbaikan dalam tata pemerintahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut;
Bagaimana menciptakan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal?
Kebijakan apa yang harus diambil dalam usaha untuk mengantisipasi terjadinya praktek-praktek korupsi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintahan lokal?

C. Kerangka Teori
Kebijakan Publik
Untuk dapat menciptakan suatu keadaan masyarakat yang sejahtera salah satu cara yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan membuat suatu kebijakan publik. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interes)[5]. Kebijakan publik dapat diartikan sebagai suatu program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik.[6] Pengertian kebijakan juga dikemukakan oleh Carl J. Freederick yaitu serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[7] Berdasarkan pengertian seperti tersebut diatas kebijakan merupakan suatu tindakan yang mengacu pada tujuan tertentu, yang lebih kurang berkesinambungan dengan waktu dan diharapkan untuk menjaga keadaan tertentu. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa kebijakan (policy) adalah suatu tindakan terpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar untuk melakukan tertentu.[8]
Terdapat tiga elemen dalam sistem kebijakan yang saling berinteraksi. Sebuah sistem kebijakan (policy sistem) atau seluruh pola dimana kebijakan dibuat mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan.[9]
Tiga Elemen Sistem Kebijakan












Interaksi ketiga elemen tersebut akan menentukan tujuan kebijakan atau kebijakan itu sendiri. Uraian dari ketiga unsur itu adalah pertama pelaku kebijakan yaitu pihak-pihak baik individu atau kelompok baik pemerintah maupun non pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Kedua lingkungan kebijakan yaitu merupakan bidang-bidang kehidupan masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh pelaku kebijakan. Ketiga kebijakan publik itu sendiri yaitu serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk menjawab tantangan atau memecahkan masalah kehidupan masyarakat.
Penjelasan tersebut akan memberikan gambaran bahwa suatu kebijakan merupakan usaha-usaha dari pemerintah sebagai penentu akhir dari kebijakan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, dimana tujuan tersebut ditentukan oleh banyak faktor yang dapat digolongkan dalam ketiga unsur diatas. Ketiganya kemudian mempengaruhi arah kebijakan publik dalam usaha mencapai tujuan. Tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah menciptakan tata pemerintahan yang baik. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menerapkan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik. Dalam kebijakan transparansi dalam tender barang pemerintah ini yang menjadi aktor-aktor pelakunya adalah dari dua pihak yaitu pemerintah dan swasta. Pihak pemerintah yang terlibat disini adalah panitia lelang tender sedangkan pihak non pemerintah adalah para kontraktor yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi dagang. Lingkungan kebijakan adalah kehidupan masyarakat dimana pengadaan tender seperti jalan adalah untuk kepentingan publik dan menggunakan keuangan dari APBD. Kebijakan publik dalam hal ini adalah menciptakan transparansi dalam kerangka menciptakan good governance. Transparansi merupakan salah satu pilihan rasional yang dapat diterapkan dalam menjalankan pemerintahan untuk mengurangi penyelewengan dalam tender untuk kepentingan publik.

Good Governance
Konsep good governance sesungguhnya masih mengalami proses diskursif. Pada umumnya pemerintahan daerah (local government) memahami good governance sebagai transparansi, akuntabilitas dan peran-peran partisipatif. Dalam konteks keindonesiaan good governance dapat dicapai jika para pelayan publik (birokrasi) merubah sikap mereka dan melaksanakan pekerjaan mereka berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi kalangan LSM, pada satu sisi, memperhatikan aspek-aspek partisipatoris dan berpendapat bahwa good governance hanya bisa dicapai ketika ada ruang yang lebih luas untuk terlibat dalam pemerintahan. Pada kenyataannya di Indonesia, hal-hal tersebut tidak akan terpecahkan sampai praktik buruk (bad governance) dihapuskan dari birokrasi dan struktur kekuasan dirubah. Penyelenggara pemerintahan umumnya melihat good governance sebagai suatu hasil (suatu tujuan jangka panjang) dan sebaliknya para aktivis LSM melihatnya sebagai satu proses dengan tujuan yang lebih tinggi.[10] Bank Dunia mulai menggunakan istilah good governance pada laporan “Governance and Development” (1992), dimana good governance diperhatikan secara mendasar untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pertumbuhan ekonomi pasar. Pada laporan World Development Report 2002 Bank Dunia dinyatakan sebagai berikut:
“Lembaga-lembaga yang mendukung pasar disediakan secara umum. Kemampuan negara menyediakan lembaga-lembaga oleh sebab itu merupakan kunci penentu pada sejauh mana individu-individu terlibat di dalam pasar dan bagaimana pasar bisa berfungsi dengan baik. Kesuksesan kelengkapan seperti lembaga tersebut ditujukan seringkali sebagai “good governance”. Good governance meliputi kreativitas, pelindung dan penguatan hak paten, tanpa pembatasan terhadap jangkauan pasar. Good governance juga termasuk pemerintah yang mendasarkan pada regulasi yang bekerja dengan pasar untuk menggalakkan persaingan bebas. Dan juga termasuk kelengakapan kebijakan makro ekonomi yang menciptakan lingkungan stabil untuk aktivitas pasar. Good governance juga berarti tidak adanya korupsi, dimana dapat merobohkan tujuan-tujuan kebijakan dan menggerogoti legitimasi dari lembaga-lembaga publik yang mendukung pasar”

Kaufman Direktur Program Global World Bank Institute lebih jauh memperjelas bahwa governance merupakan tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga dimana wewenang dalam negara digunakan untuk menciptakan kebaikan umum. Governance termasuk di dalamnya adalah:
Proses dimana mereka yang mendapat wewenang dipilih, diawasi dan digantikan (dimensi politik).
Kapasitas pemerintah mengelola secara efektif sumberdayanya dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya (dimensi ekonomi); dan
Penghargaan warga Negara dan negara untuk lembaga-lembaga Negara (dimensi penghargaan kelembagaan).
Selanjutnya Kaufmann menyebutkan ada enam dimensi good governance yang harus dihadapi, yaitu:
Informasi dan Akuntabilitas (Voice and Accountability)– mengukur politik, sipil dan hak asasi manusia.
Stabilitas politik dan kekerasan (Political Instability and Violence) – mengukur kemungkinan ancaman kekerasan, atau perubahan-perubahan, pemerintah, termasuk masalah terorisme.
Efektifitas pemerintahan (Government Effectiveness) – melakukan pengukuran tingkat kompetensi birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan.
Kendala peraturan (Regulatory Burden) – melakukan pengukuran/penilaian terhadap kejadian dari kebijakan-kebijakan yang tidak bersahabat dengan pasar.
Rule of Law – melakukan pengukuran kualitas penegakan perjanjian, kepolisian, dan peradilan, juga kemungkinan kejahatan dan kekerasan.
Kontrol korupsi (Control of Corruption) – melakukan pengukuran terhadap praktik mengambil keuntungan dengan kekuasaan publik, termasuk didalamnya korupsi kecil dan besar, dan pengambilan negara terhadap hak publik.
Beberapa kalangan CSOs (Civil Society Organizations) juga memberikaan tambahan atau tawaran mengenai apa yang dimaksud dengan good governance. Kalangan ini mencoba menjadikan pendekatan hak asasi manusia (HAM/human rights) sebagai tolak ukur good governance. Pendekatan hak asasi manusia pada pelaksanaan good governance memberikan landasan pemerintah bahwa pelaksanaan kebijakan harus dilandaskan pada hak asasi manusia.[11]
Menurut Max Weber[12] birokrasi adalah cermin hadirnya fenomena organisasi negara modern yang tujuannya mengelola administrasi kepemerintahan secara rasional dan impersonal. Karena itu, birokrasi menjadi organisasi yang vital dalam penyelenggaraan pemerintahan karena memang ia diciptakan sebagai alat untuk to serve public interest.Pengunaan konsep good governance dalam pemerintahan lokal dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mereformasi birokrasi. Adanya reformasi dalam birokrasi pemerintah merupakan gerakan politik yang menghendaki lahirnya orde politik yang demokratik dalam semua tingkatan relasi kekuasaan politik, yaitu antara negara dengan masyarakat, sesama lembaga kenegaraan/pemerintahan maupun antara masyarakat dengan lembaga-lembaga perwakilan politik resmi (parlemen).[13] Semangat perubahan politik lebih mengarah pada pemberdayaan politik civil society.

Transparansi Publik
Pada usaha untuk menciptakan sistem tata-kelola pemerintah yang baik (good governance) masing-masing pilar yakni akuntabilitas, partisipasi dan transparansi pada dasarnya saling mengandaikan. Seorang pakar menyebut;1) “sama halnya dengan perjuangan berbagi kelas dalam masyarakat (buruh, kelas menengah, kaum perempuan dan lainnya) berjuang agar suaranya didengar, maka berbagai lapisan masyarakat dewasa ini dipelopori kelas menengah berjuang untuk mendapatkan informasi (transparansi) dari pengelola kekuasaan”. Prosesnya disebut partisipasi dan hasilnya disebut pertanggungjawaban (akuntabilitas).
Keterbukaan pemerintah dalam informasi publik dapat dimanfaatkan oleh publik diantaranya :[14]
Publik yang banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi
Parlemen, pers dan publik dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan-tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan besar pada pertanggungjawaban pemerintah.
Pegawai negeri mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada orang banyak, dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya.
Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif dan membantu pengembangn kebijakan yang fleksibel; dan
Kerjasama publik dengan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang makin banyak tersedia.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi mengandaikan adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan pada ramah politik akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Sedangkan pada ramah sosial yang lain, keterbukaan informasi yang berkenaan dengan perencanaan, penganggaran, dan monitoring serta evaluasi program, yang mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya dan kalangan marjinal dan perempuan pada khususnya. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu : (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap aspek informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.

Indikator dan Instrumen Transparansi[15]
Indikator
Transparansi tata pemerintahan memiliki indikator-indikator yang berfungsi sebagai paramaeter dari pelaksanaan transparansi. Indikator-indikator bagi transparansi tata pemerintahan tersebut meliputi: (a) Tersedianya mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi (b) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik. (c) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani aspirasi publik.
a) Tersedianya mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi:
Indikator ini mensyaratkan bahwa seluruh proses tata pemerintahan mulai dari pengorganisasian, alokasi anggaran sampai pada implementasi kegiatan harus terbuka secara penuh dan dapat dinilai dengan baik oleh warga masyarakat maupun stakeholders. Dalam konteks ini penyelenggara pelayanan publik yaitu aparat birokrasi harus menjelaskan secara penuh kepada stakeholders seluruh persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga dalam proses pelayanan publik.[16] Hal ini mengharuskan agar aparat pelayan publik melakukan upaya-upaya untuk menyebarluaskan informasi mengenai persyaratan yang harus diketahui oleh pengguna jasa pelayanan publik. Persoalannya selama ini adalah bahwa aparat pelayan publik merasa bahwa persayaratan tersebut merupakan urusan dari pengguna jasa pelayanan publik dan bukan menjadi tanggung jawab mereka. Hanya dengan memasang persyaratan yang ada di papan pengumuman institusi, mereka tidak melakukan upaya aktif untuk melakukan sosialisasi di tingkat masyarakat.

b) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik:
Indikator ini berkaitan dengan bahwa sebuah peraturan dan prosedur pelayanan publik harus cukup jelas dimengerti oleh pengguna jasa pelayanan publik. Aparat pelayan publik harus memiliki kemampuan dan tersedianya mekanisme dan prosedur yang memungkinkan agar pengguna jasa pelayanan publik dapat memahami dengan jelas mulai dari persyaratan, prosedur, biaya, waktu yang diperlukan oleh pengguna jasa pelayanan publik. Persolan yang ada selama ini bahwa fihak aparat birokrasi pemerintahan seringkali tidak mau memberikan penjelasan secara komprehensif tentang mengapa persyaratan, prosedur, waktu yang dibutuhkan bagi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik begitu lama.
Hal ini terjadi karena aparat birokrasi merasa mereka hanya menjalankan prosedur yang ada, tanpa memiliki pengetahuan yang memadai mengenai aturan dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik. Kondisi ini perlu diperbaiki untuk memperkuat kinerja pelayanan publik pemerintahan. Mereka harus mampu dan memiliki informasi yang jelas mengapa sebuah peraturan dibaut sebagaimana adanya. Bahkan fihak aparat pelayanan publik juga harus mampu melakukan evaluasi terhadap prosedur aturan pelayanan publik yang tidak dapat difahami dan menyusahkan pengguna jasa pelayanan publik. Sehingga di masa depan terjadi perbaikan performa penyelenggaraan pelayanan publik.

c) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani aspirasi publik:
Indikator ini mensyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka aparat pelayan publik dituntut untuk memudahkan proses pelaporan dan penyebaran informasi kepada publik dan pengguna pelayanan publik dalam setiapn aspek penyelenggaraannya. Kemudahan bagi publik untuk mengakses informasi yang diperlukan oleh mereka menjadi salah satu parameter utama dari transparansi penyelenggaraan pelayanan publik. Ketika pengguna pelayanan publik dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai prosedur, persyaratan, waktu dan cara memperoleh pelayanan publik dengan baik menunjukkan tingginya tingkat transparansi pelayanan publik yang ada. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka aparat birokrasi pemerintahan secara katif dituntut untuk melakukan kerjasama baik dengan organisasi non pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun media massa untuk membantu penyelenggaraan pelayanan publik.

Pengadaan Barang untuk Kepentingan Publik
Perlunya transparansi dalam pengadaan barang publik akan meminimalkan praktik KKN. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik adalah penyebab utama dalam kasus-kasus pemecatan pejabat publik senior, yang tidak terhitung banyaknya, dan bahkan penyebab runtuhnya pemerintahan. Bagi orang awam, prosedur pengadaan barang dan jasa publik tampak rumit, atau mungkin bahkan penuh rahasia. Prosedur pengadaan barang dan jasa publik sering dimanipulasi dengan berbagai cara, tanpa banyak resiko akan ketahuan. Orang yang berniat melakukan korupsi, apakah memberi atau menerima suap, umumnya tidak menemui kesulitan menemukan orang lain yang mau diajak bekerja sama. Karena itu, perlu pengawasan yang efektif, karena orientasi penanggung jawab pengadaaan barang dan jasa publik (apakah pelaksana proses pengadaan atau pengambil keputusan akhir) jelas bukan melindungi uang mereka sendiri, tetapi membelanjakan uang “pemerintah”.
Selain aspek penegakan hukum dengan ratifikasi undang-undang anti-korupsi dan penataan perangkat kelembagaan, seperti pembentukan komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang lebih bersifat kuratif maka usaha-usaha preventif yang bisa dilakukan untuk melawan korupsi bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa publik melalui prosedur seleksi pemasok atau kontraktor berdasarkan persaingan yang sehat.

Pemerintahan Lokal

D. Alternatif Kebijakan
Permasalahan yang menyangkut transparansi dalam tender pengadaan barang publik dapat diatasi dengan alternatif kebijakan
eprocurement, ini merupakan suatu bentuk tender elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Transparansi alokasi anggaran yang akan dibelanjakan untuk pengadaan barang publik.
Bentuk transparansi ini memudahkan individu atau lembaga yang ingin mengikuti program tender dalam pengadaan barang publik.
Perkiraan hasil
Program tender dengan menggunakan eprocurementi hanya merupakan salah satu cara untuk mempermudah masyarakat mengakses segala informasi yang menyangkut tender pengadaan barang publik secara mudah. Namun demikian hal ini masih memerlukan bentuk-bentuk pengawasan yang ketat dari masyarakat karena meskipun terdapat keterbukaan dalam akses informasi keberpihakan untuk birokrasi pelaksanan tender masih dimungkinkan karena hal itu merupakan prilaku birokrat yang telah melembaga sejak lama.

E. Penilaian Alternatif
Pemahaman good governance-transparansi tidak ada permasalahan yang signifikan, tetapi pada level kemampuan mengimplementasikannya masih perlu proses kreativitas. Kesenjangan antara pengetahuan dan praktik nyata sehari-hari sesungguhnya bukan sesuatu yang khas dalam pengimplementasian good governance. Itu sebabnya studi administrasi negara (publik) mengembangkan subkajian khusus tentang implementasi kebijakan. Marilee Grindle (1982), misalnya, menganjurkan pentingnya menelaah saling kaitan antara content dan contexts suatu kebijakan dalam dinamika pengimplementasian kebijakan tersebut.
Penerapan transparansi sebagai bagian integral dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah tentulah merupakan produk kompromi politik, yang belum tentu merupakan sepakat bulat (kompromi sempurna) di antara semua pihak yang (diharapkan) terlibat dan/atau berkepentingan.[17] Transparansi memang sebuah inovasi kebijakan yang menjanjikan, tetapi tantangan yang ditimbulkannya dapat menyulitkan banyak pihak: pemerintah, pelaku-pelaku bisnis, bahkan mungkin publik sendiri. Penerapan transparansi seringkali dikaitkan secara positif dengan peningkatan efisiensi kebijakan publik, mereduksi praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, meningkatkan akuntabilitas, mengefektifkan the rule of law, menjamin efektivitas pencapaian tujuan institusi, dan sebagainya. Tetapi, sebaliknya juga banyak alasan untuk menawar, menunda, membatasi, atau bahkan menolak mempraktikkan dan membangun sistem transparasi secara sistematis dan konsisten. Hal-hal seperti keamanan nasional, keutuhan masyarakat, kerahasiaan jabatan/negara, privasi personal, ketidaksiapan kultural masyarakat, kesalahpahaman, kepanikan, penyalahgunaan informasi, dan sebagainya sering dipergunakan sebagai alasan untuk membatasi transparansi. Kerahasiaan dan transparansi rupanya dua hal yang harus ditempatkan pada ujung-ujung sebuah kontinum, dan keputusan untuk mengembangkan transparansi pada derajat dan jenis macam apa bisa dikatakan merupakan keputusan politik kompromis. Kompromi antara prinsip pengelolaan kehidupan bersama yang mengandalkan hubungan-hubungan hirarkhis-eksklusif dan hubungan yang bercorak kesetaraan.
Pada penerapan transparansi dalam pemerintahan mengandaikan keterbukaan sistem pemerintahan dan prosedur pembuatan keputusan terhadap peninjau eksternal. Praktik transparansi menyangkut jalinan interaksi yang kompleks antara penawaran dan permintaan akan layanan informasi dari penyelenggara pemerintahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan publik. Informasi yang disediakan haruslah objektif, akurat, lengkap, relevan, mudah diperoleh, dan mudah dimengerti. Pemerintah yang hendak memajukan transparansi tentu harus mempunyai kemampuan menghimpun, menganalisis, dan mendesiminasikan informasi secara teratur kepada stakeholders. Pemerintah sendiri sejak awal haruslah secara jelas merumuskan tujuan-tujuan yang bisa dimengerti dan diterima oleh publik, dan jangan memberikan harapan-harapan yang tidak realistis. Lebih dari itu, pengimplementasian sistem transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan menuntut adanya pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan reformasi administrasi. Seorang pemimpin eksekutif dengan kepemimpinan yang kuat akan dapat mengkoordinasi kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antarbanyak stakeholder maupun resistensi yang mungkin muncul..

F. Alternatif yang direkomendasikan
Penerapan sistem transparansi niscaya menciptakan sebuah “lingkaran tindakan” yang melibatkan penyediaan informasi baru, persepsi dan kalkulasi pengguna informasi, tindakan pengguna informasi, persepsi dan kalkulasi penyedia layanan, dan respons akhir penyedia layanan. Alternatif rekomendasi transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik oleh pemerintah lokal adalah:
Menerapkan eprocurement, yang merupakan cara paling mudah dimana publik mengakses informasi dari pemerintah. Hal ini juga harus dibarengi dengan
Meningkatkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi pada publik
Berfungsinya secara efektif the rule of law
Politik yang kompetitif
Pers yang bebas dan kompetitif
Adanya badan yang kompeten untuk mengaudit informasi
G. Kesimpulan
Menciptakan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal harus sinergi antara kebijakan pusat dan kebijakan di tingkat lokal. Disamping kebijakan perundangan dan perda yang jelas hal yang tidak kalah pentingnya adalah pada tahap implementasinya. Tahap ini merupakan tolok ukur keberhasilan dalam suatu kebijakan. Peran aktif masyarakat untuk melakukan kontrol juga mempengaruhi dalam keberhasilan pelaksanaan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal. Tindakan yang perlu dilakukan adalah diantaranya a. Meningkatkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi pada publik; b. Berfungsinya secara efektif the rule of law; c. Politik yang kompetitif; d. Pers yang bebas dan kompetitif; e. Adanya badan yang kompeten untuk mengaudit informasi.
Kebijakan yang dapat diambil dalam usaha untuk transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal adalah menerapkan eprocurement. Kebijakan ini bagus meskipun demikian dalam tahap implementasinya perlu didukung sikap pelaksana (disposisi) dari birokrasi untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Disamping itu masyarakat sebagai sasaran dalam kebijakan juga diperlukan dalam mendukung keberhasilan kebijakan. Sinerginya kebijakan publik, pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan akan dapat menciptakan kondisi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu transparansi untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik.




















Daftar Pustaka


Agus Dwiyanto, 2005, Transparansi Pelayanan Publik dalam Agus Dwiyanto (ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Francis Fukuyama, 2005, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Freedom Institute dan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Guenther Roth, Claus Wittich (ed) 1978, Max Weber Economy and Society, London, University of California Press.

Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi: Yayasan Obor Indonesia.

Kris Nugroho, 2006, Menumbuhkan Transparansi dan Akuntabilitas Birokrasi di Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni Surabaya.

Martha Meijer and T.K. Oey, 2002, Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise, September Amsterdam ).

Priyatmoko, 2006, Praktik Good Governance: Politik Transparansi dalam Konteks Pemerintahan Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni, Surabaya.

Robert Gregory, 1984, ”Knowledge as Power? An Overview”’ dalam Robert Gregory (ed.) The official Information Act: A Beginning (NZ Institut of Publik Administration, Wellington.

Sophal Ear, 2001, ADB Consultant, and UC Berkeley August 22, sophal@alumni.princeton.edu

Solichin A. Wahab, 1997, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, edisi II, Bumi Aksara, Jakarta.

William N. Dunn, 1998, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi II Gajah Mada University Press, Yokyakarta.

Undang-UndangUndang-Undang No 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[1] Francis Fukuyama. 2005. Memperkuat negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Freedom Institute dan PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
[2] Agus Dwiyanto. 2005. Transparansi Pelayanan Publik dalam Agus Dwiyanto (ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
[3] Sophal Ear, ADB Consultant, and UC Berkeley August 22, 2001 sophal@alumni.princeton.edu
[4] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Yayasan Obor Indonesia,2003,Hal 378.
[5] Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal 10
[6] Harrold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta,1990, hal 58.
[7] Carl J. Friedrick dalam Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal 17
[8] Solichin A. Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, edisi II, Bumi Aksara, Jakarta, 1997
[9] William N. Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi II Gajah Mada University Press, Yokyakarta, 1998, hal 109.
[10] Martha Meijer and T.K. Oey. Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise (September 2002 Amsterdam )

[11] Martha Meijer and T.K. Oey. Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise (September 2002 Amsterdam ).
[12] Guenther Roth, Claus Wittich (ed) 1978, Max Weber Economy and Society, London, University of California Press. Hal. 220-221
[13] Kris Nugroho, Menumbuhkan Transparansi dan Akuntabilitas Birokrasi di Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006 di Surabaya.
[14] Robert Gregory,”Knowledge as Power? An Overview”’ dalam Robert Gregory (ed.) The official Information Act: A Beginning (NZ Institut of Publik Administration, Wellington, 1984
[15] Modul III, Membangun Transparansi Publik oleh Pemerintahan Lokal, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006, Surabaya.
[16] Agus Dwiyanto, op.cit. hal. 243.
[17] Priyatmoko, Praktik Good Governance: Politik Transparansi dalam Konteks Pemerintahan Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006 di Surabaya.

Tidak ada komentar: