Jumat, 28 November 2008

BIROKRASI DAN PARTAI POLITIK

Oleh : Nanang Haryono
Abstraksi

Pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) memang telah mamajukan proses demokrasi yang ada di Indonesia. Namun demikian anggota legislatif dan kepala daerah hasil dari proses pilkadal dalam pelaksanaan tugasnya seringkali terdapat hambatan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dikarenakan visi yang dibawa oleh anggota legislatif dan kepala daerah terpilih sering kali dipengaruhi dengan semangat dari partai politik yang mengusungnya. Logika yang digunakan oleh anggota legislatif dan kepala daerah terpilih tidak logika pelayan masyarakat tetapi sebaliknya logika pelayan partai politik. Permasalahan yang ditimbulkan kemudian adalah Hubungan antara pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrasi) menjadi tidak harmonis dan mengakibatkan pelaksanakan pembangunan terhambat.

I. Pendahuluan
Pemerintahan yang diimpikan oleh banyak orang adalah sebuah bentuk pemerintahan yang demokratis dan mensejahterakan masyarakat warga negaranya. Kesejahteraan masyarakat dapat dicapai kalau pembangunan dapat dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan segenap warga masyarakatnya. Pemerintah dapat malaksanakan pembangunan untuk mensejahterakan masyarakatnya apabila terdapat hubungan yang hamonis antara politisi dan pejabat birokrasi dalam menjalankan pembangunan.
Politisi dan pejabat birokrasi memegang kunci utama dalam pembangunan suatu negara. Politisi mempunyai peranan menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya, memformulasi dan mengesahkan suatu kebijakan. Kedudukan politisi (anggota legislatif) sangat vital dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pejabat birokrasi mempunyai peranan dalam implementasi kebijakan dimana keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh birokrasi, politisi, dan masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan (dalam Thoha, Miftah,2004:V). Dengan demikian birokrasi pemerintah tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi saja yang meniti karier didalamnya, melainkan ada pula bagian-bagian lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik. Demikian pula sebaliknya didalam birokrasi pemerintah bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Untuk selanjutnya penulis akan membahas mengenai pilkada sebagai bentuk proses demokratisasi di Indonesia.

II. Pilkada
Pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) merupakan agenda pemerintah yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang No 32 tahun 2004 dan PP No 6 tahun 2005. Mulai bulan Juni 2005 para Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) tidak lagi dipilih oleh DPRD melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat. Proses ini merupakan transformasi yang dilaksanakan bangsa Indonesia dalam melaksanakan proses lanjut kerangka kelembagaan di dalam berdemokrasi.
Pilkada secara langsung memiliki makna yang strategis. Pertama, membuka peluang partisipasi politik masyarakat secara lebih luas. Masyarakat bisa secara langsung berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpinnya dan juga menyuarakan kepentingannya. Lebih lanjut peran masyarakat ini tidak saja menyuarakan kepentingan tetapi masyarakat juga sekaligus dapat mengontrol pemerintah daerah agar selalu berpihak kepada kepentingan masyarakat. Kedua, calon terpilih memiliki dasar legitimasi yang cukup kuat karena ditentukan oleh pilihan masyarakat secara langsung. Legitimasi tersebut tidak hanya de jure, tetapi juga de facto. Hal ini mengingat proses demokratisasi ternyata tidak hanya membutuhkan mandat hukum formal, melainkan juga mandat dari penyerahan aspirasi publik kepada seseorang untuk menyuarakan aspirasinya.
Orang-orang yang terpilih tersebut selanjutnya akan memasuki pemerintahan dan mempunyai kedudukan yang strategis dalam menjalankan roda pemerintahan. Anggota legislatif yang terpilih tugas utamanya adalah mengawasi jalannya pemerintahan dan kepala daerah terpilih tugasnya adalah memimpin jalannya pemerintahan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Namun demikian kenyataan dilapangan terdapat distorsi dimana banyak kepala daerah dan anggota legislatif dalam menjalankan tugasnya lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya dari pada kepentingan masyarakat secara luas. Pelaksaan tugas yang demikian menjadi sebab kurang harmonisnya hubungan politisi dan pejabat birokrasi.

III. Birokrasi Pemerintah
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat (Thoha, Miftah,2004:2). Birokrasi merupakan bentuk organisasi yang digolongkan modern. Dalam birokrasi seseorang didalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti dengan kata lain seorang birokrat memiliki tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Para birokrat bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkat otoritas dan kekuasaannya. Mereka mendapatkan gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Proses komunikasi dalam didasarkan pada dokumen tertulis (the files).
Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan (Thoha, Miftah,2004:2). Kekuasaan seorang pejabat sangat menentukan, karena segala urusan yang berhubungan dengan jabatan itu maka orang yang berada dalam jabatan tersebut menentukan. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tatanan hierarkhi dari atas ke bawah. Jabatan yang berada pada hirarkhi atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di tataran bawahnya. Semua jabatan itu lengkap dengan fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut.
Konsepsi birokrasi ideal menurut Max Weber adalah birokrasi yang legal rasional, bersifat universal. Birokrasi dibimbing oleh prosedur tertulis yang bersifat pragmatis, yakni untuk menyelesaikan tugas seefektif dan seefisien mungkin (Budiman, Arif,1988:1). Pada pelaksanaannya konsepsi birokrasi dari Weber tersusup kepentingan-kepentingan pribadi, khususnya kepentingan para birokratnya. Proses ini dapat menimbulkan konflik dari dalam pemerintah sendiri antara legislatif dan eksekutif. Hal ini dikarenakan pejabat birokrasi pemerintah merupakan sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat ini, bukan pejabat yang tergantung pada rakyat. Pelayanan kepada rakyat bukan diletakkan pada pertimbangan utama, melainkan pertimbangan yang kesekian.
Bentuk birokrasi Weber mendapat banyak kritikan dari Werren Bennis (1967), Lawrence dan Lorch (1967) menyatakan bentuk organik birokrasi itu seyogyanya hanya cocok untuk situasi lingkungan kompleks dan tidak menentu dan untuk situasi rutin dan stabil (Thoha, Miftah,2004:4). Oleh karena itu jika birokrasi ingin selalu survive maka birokrasi harus mau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah.
Birokrasi di Indonesia kedudukannya sangat kuat. Segala urusan dari kecil sampai besar selalu membutuhkan legitimasi dari birokrasi pemerintah. Sebaliknya posisi masyarakat sangat lemah di hadapan birokrasi. Salah satu penyebabnya adalah kekuasaan birokrasi di Indonesia dibentuk dengan sistem bapak atau patrimonial sehingga semakin kental lagi kekuasaan birokrasi. Pejabat pada hirarkhi bawah tidak berani bertindak jika tidak memperoleh restu dan petunjuk dari hierarkhi atas. Dapat dikatakan birokrasi Weberian yang rasional dalam pelaksanaannya di Indonesia sedikit banyak telah disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia.
Terdapat dilema di dalam birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu dilemma wewenang birokrasi pemerintah adalah suatu konflik antara persyaratan-persyaratan dinas dengan praktek-praktek yang sebenarnya (Blau dan Mayer,1987:85). Secara teoritis, atasan-atasan birokratis diharapkan dapat menjalankan pengawasan yang ketat dan obyektif kepada bawahan-bawahan namun dalam kenyataan pengawas seringkali “ada main” dengan bawahan mereka dengan membiarkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap sejumlah aturan. Bentuk seperti ini digambarkan dengan kepemimpinan yang lemah.

IV. Pemerintahan yang Demokratis
Pemerintahan yang demokratis merupakan cita-cita semua orang. Prinsip demokrasi yang paling penting adalah meletakkan kekuasaan itu ditangan rakyat, bukannya ditangan penguasa. Tidak adanya rasa takut untuk memasuki suatu serikat atau perkumpulan yang sesuai dengan hati nurani dan kebutuhannya. Selaras dengan tidak adanya rasa takut tersebut juga dikembangkan adanya kenyatan dihargainya moral perbedaan pendapat (Gutmann dan Thompson, 1996).
Pemerintah bisa bertindak demokratis jika peran kontrol yang dilakukan rakyat dijalankan secara maksimal, proporsional, konstitusional dan bertanggung jawab. Dalam pemerintahan yang modern dan demokratis, hampir tidak mungkin manajemen birokrasi pemerintahannya bisa dijalankan tanpa kontrol dari rakyat (Thoha, Miftah,1999:34). Negara yang pemerintahannya dijalankan secara demokratis meletakkan para pejabatnya bisa dikontrol oleh rakyat melalui pemilihan (Dahl,1982).
Pada masyarakat yang demokratis dan kompleks hampir tidak mungkin untuk melakukan dan memperoleh kontrol yang sempurna. Akan tetapi meskipun demikian kita dapat menaruh harapan yang minim sekalipun dalam mengetengahkan suatu cara pemilihan (election) yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat dalam birokrasi pemerintahan (Thoha,1999). Pemilihan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat yang mewakilinya merupakan inti dari pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara, sekaligus juga pelaksanaan akuntabilitas kepada rakyat. Salah satu wujud dari akuntabilitas itu ialah agar semua produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak harus diupayakan didasarkan atas undang-undang. Dengan produk hukum yang berupa undang-undang ini rakyat mempunyai akses untuk mengatur dan mengendalikannya.

V. Good Governance
Good Governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan suatu konsep yang sering diwacanakan saat ini. Konsep good governance lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Konsep Good Governance menekankan pada peranan manajer publik agar memberi pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan penciptaan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi.
Good Governance merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society, dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan Compos;UNDP,1997 dalam Thoha, Miftah,2004,63). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini sangat akan berpengaruh terhadap upaya penciptaan tata pemerintahan yang baik. Jika kesamaan derajat itu tidak seimbang maka akan terjadi pembiasan dari tata pemerintahan yang baik tersebut. Berikut adalah gambar hubungan ketiga komponen dalam good governance:
Gambar 1.1
Tiga Komponen Good Governance










Sumber: UNDP,1997 dalam Thoha, Miftah,2004,64).
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, komponen rakyat (civil society) harus memperoleh peran yang utama. Hai ini di dorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam sistem yang demokratis kekuasan tidak lagi ada pada penguasa melainkan ada di tangan rakyat.
Sejak disyahkannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan direvisi dengan UU No 32/2003 pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong terwujudnya good governance. Memang, jika otonomi daerah dilaksanakan dengan baik maka peluang untuk mereformasi praktik penyelenggaraan pemerintahan serta penguatan fungsi dan peran legislative di daerah diharapkan mampu memotifasi terjadinya perbaikan kualitas proses kebijakan dari formulasi sampai evaluasi kebijakan. Proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, transparan, responsive, akuntabel terhadap semua stakeholders di daerah (Wibawa, dalam Dwiyanto,2005:63).
Pada masa otonomi darah seperti saat ini, DPR Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang lebih luas dibandingkan sebelum 1999. ini berarti rakyat melalui wakilnya dapat merumuskan kebijakan-kebijakan (peraturan dan anggaran) demi kepentingan mereka sendiri. Mereka juga mempunyai kekuasaan yang lebih besar untuk mengontrol bupati/walikota, sejak pengangkatan hingga penyusunan dan pelaksanaan program kerja, hingga kebijakan bupati/walikota selalu berorientasi kepada kepentingan warganya.
Namun anggota DPR Kabupaten/Kota adalah kader partai, mereka lebih banyak memperjuangkan kepentingan partai (dalam hal ini adalah pengurus partai, baik pusat provinsi maupun kabupaten) dari pada kepentingan para pemilih mereka. Komitmen mereka pada pemilih sangat rendah. Di samping itu tidak sedikit anggota DPR Kabupaten/Kota yang berpendidikan rendah akibatnya ada anggota DPR Kabupaten/Kota yang menjiplak perda dari Kabupaten lain, meminta uang sebelum menyetujui perda yang diusulkan oleh sebuah dinas, dan sering terdengar peraturan daerah yang bertentangan dengan akal sehat dan oleh publik dianggap sebagai bermasalah (Wibawa, dalam Dwiyanto,2005:66). Kekuasaan DPR Kabupaten/Kota juga sering disalah gunakan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Walikota, serta saat Bupati/Walikota memberikan laporan pertanggung jawaban tahunan. Dalam ketiga hal ini money politics menjadi pemandangan yang sering dijumpai . Kriteria pengawasan terhadap eksekutif tidak obyektif, tidak transparan dan berubah-ubah. Pemantauan proyek sering berubah menjadi arena pemerasan. Tindakan-tindakan seperti yang dipaparkan diatas membuat hubungan antara pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrasi) menjadi tidak harmonis dan mengakibatkan pelaksanakan pembangunan terhambat.

VI. Partai Politik dan kekuasaan
Bentuk pemerintahan negara yang konservatif, revolusioner, pluralis demokratis, diktator monolitis atau suatu pemerintahan didukung elit tertentu atau didukung oleh massa maka suatu partai politik dibentuk untuk menjalankan fungsi kekuasan politik. Fungsi kekuasan politik dilakukan oleh partai politik baik ketika membentuk pemerintahan atau ketika partai politik berfungsi sebagai oposisi dalam pemerintahan. Fungsi-fungsi ini merupakan fungsi yang amat penting dalam ikut menentukan kebijakan nasional.
Ketika suatu partai politik memenangkan suara rakyat dalam pemilihan umum yang demokratis, maka pertanyaan berikutnya adalah seberapa jauh pengaruh partai tersebut terhadap jalannya pemerintahan. Partai yang memenangkan suara rakyat terbanyak berarti partai tersebut memperoleh jalan menuju kekuasaan. Kekuasan ada di dua tempat yakni di perwakilan (dewan) dan pemerintahan (eksekutif). Ada kalanya suatu partai memegang kekuasaan di pemerintahan akan tetapi mayoritas kekuasaan ada di dewan (Thoha, Miftah,2004,96).
Partai politik dan kekuasan tidak dapat dipisahkan. Keberadan partai politik tidak lain bertujuan untuk mencapai kekuasaan baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat dan sarana rakyat untuk mewujudkan kekuasaannya itu melalui partai politik.

VII. Politik-Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan politik (Thoha, Miftah,2004,27). Setiap kelompok masyarakat yang terintegrasi dalam tata pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik. Politik sebagaimana kita pahami adalah siapa, memperoleh apa kapan dan bagaimana. Dalam politik sekelompok orang mengorganisasikan diri dalam suatu partai politik dan berusaha mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang dapat mengangkat suatu kepentingannya serta mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat ini mempunyai kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah terpengaruh. Birokrasi pemerintah langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat.
Penguasa pemerintah pada setiap negara percaya bahwa tugas utama dari setiap pemerintahan apakah demokratis atau otoritarian adalah untuk menjamin agar negara negara dan bangsa tetap hidup dan berjaya. Kaitan dengan tugas utama negara tersebut adalah menyangkut dua hal yang fundamental yaitu mempertahankan kemerdekaan dari ancaman musuh dari luar dan kedua mengendalikan konflik internal agar tidak berlarut-larut menjadi perang saudara.
Pemerintah harus bisa memuaskan kebutuhan masyarakat yang nantinya bisa menerima dan mendukung kebijakan dan program-program pemerintah. Pemerintah harus mau mendengar, mengamari dan menyaring melalui tuntutan-tuntutan politik yang secara ajeg dituntut oleh pelbagai kelompok kepentingan. Tuntutan-tuntutan itu bisa berupa selalu melihat salah dan kekurangan pemerintah, mulai dari kesalahan kebijakan yang diambil sampai kepada realisasi kegiatan dan pengawasan. Kelompok kepentingan tersebut menuntut dan bahkan memaksa agar pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan yang sesuai dengan tuntutannya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka tidak puas dan disinilah bibit konflik internal dimulai.
Politik adalah identik dengan konflik dalam suatu pemerintahan suatu negara. Dalam masyarakat terdapat tidak hanya satu kelompok melainkan banyak kelompok. Masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Jika bersebrangan kepentingan maka terjadilah konflik ditengah masyarakat. Salah satu faktor yang seringkali menimbulkan perbedaan dan memunculkan konflik adalah nilai yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing kelompok. Manakala kelompok orang-orang itu hidup dalam suatu masyarakat, mereka merasa terpenuhi nilai yang dianggap benar jika diatur oleh peraturan bersama yang bisa mengikat seluruh orang dalam masyarakat. Dengan kata lain, rakyat atau kelompok-kelompok orang tersebut mempunyai kepentingan politik (politik interest) agar masing-masing nilainya diterima oleh kelompok masyarakat lainnya. Peraturan bersama itulah yang dihasilkan dan dilakukan oleh aktor pemerintah, dan masing-masing kelompok yang mempunyai kepentingan politik berusaha mempengaruhi aktor pemerintah agar sejalan dengan nilai dan kepentingan politiknya. Kepentingan politik itu merupakan nilai dari seseorang atau kelompok orang yang bisa diperoleh dan bisa hilang dari apa yang dilakukan pemerintah atau apa yang tidak dilakukan pemerintah.
Tindakan pemerintah yang dijalankan lewat mesin birokrasinya merupakan cara terbaik untuk melakukan otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam memecahkan konflik politik yang timbul diantara orang-orang dan kelompok orang.

VIII. Hubungan Politisi dan Pejabat Birokrasi
Hubungan pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrasi) dalam pemerintahan dipengaruhi oleh prilaku mereka. Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya. Ini merupakan formula psikologis, dan mempunyai kandungan pengertian bahwa prilaku seseorang itu tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, malainkan ditentukan sampai seberapa jauh interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Prilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Oleh karena itu untuk memahami prilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi tersebut. individu membawa kedalam tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman masa silam. Ini semua merupakan karakteristik individu, dan ini akan dibawa manakala memasuki lingkungan yang baru, semisal birokrasi. Adapun birokrasi yang dipergunakan sebagai suatu sistem untuk merasionalkan organisasi itu juga mempunyai karakteristik sendiri.
Karakteristik organisasi menurut Max Weber adalah antara lain: adanya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarkhi, adanya pembagian kerja, adanya tugas-tugas dalam jabatan tertentu, adanya wewenang dan tanggung jawab, adanya sistem pengajian tertentu, adanya sistem pengendalian dan lain sebagainya. Jika karakteristik individu yang disebut diatas berinteraksi dengan karakteristik birokrasi maka timbullah prilaku birokrasi.
Keberadaan partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh pada tatanan birokrasi pemerintahan. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang akan ditempati oleh birokrat karier dan ada pula jabatan-jabatan yang diisi oleh pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu diperlukan penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik.
Pada masa orde baru yang berkuasa pada pemerintahan adalah partai pemenang pemilu. Partai pemenang pemilu saat itu adalah Golkar dengan mayoritas tunggal. Semua posisi jabatan dalam organisasi pemerintah ditempati oleh kader Golkar maka sulit dibedakan mana yang birokrat karier dan mana yang birokrat politisi. Pola seperti itu berlangsung cukup lama sehingga memunculkan opini di masyarakat bahwa pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak bisa dibedakan. Ketika terjadi gerakan reformasi, sistem pemerintahan yang telah berjalan puluhan tahun sulit untuk dilakukan pembaharuan. Meskipun begitu pada masa reformasi peran pejabat politik semakin besar dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Peran pejabat politik yang besar juga didukung semangat otonomi daerah yang digulirkan selama masa reformasi.
Ketika memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah, maka timbul pertanyaan mengenai hubungan antara pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrasi). Hubungan antara pejabat politik (political leaderships) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi control dan dominasi. Hubungan pejabat politik dan pejabat birokrasi akan senantiasa menimbulkan persoalan, siapa yang mengontrol dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan seperti ini pada hakekatnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Adapun alternatif solusi yang utama yaitu apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation atau at co-equality with the executive) (Carino,1994 dalam Thoha, Miftah,2004:153).
Perspektif executive ascendancy berangkat dari suatu asumsi bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh para pemimpin politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat/public interest. Supremasi mandat ini dilegitimasi melalui pemilihan umum dan diterima secara defakto oleh rakyat. Model sistem liberal, Kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan control acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford,1996:79). Pemikiran tentang supremasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi dan asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Terdapat slogan klasik ketika fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai. Interpretasi dari slogan ini adalah birokrasi pemerintah sebagai mesin pelaksanan kebijakan politik yang dibuat oleh pejabat politik (Wilson,1987:134). Dikotomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan (implementation) antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi (Kirwan, 1987:389).
Adapun Bureaucratic sublation didasarkan atas asumsi bahwa birokrasi pemerintah suatu negara bukan hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Dengan menggunakan teori dari Max Weber menyatakan bahwa birokrasi yang riil mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Pejabat birokrasi yang bekerja secara professional mempunyai power tersendiri sebagai pejabat yang permanent. Pejabat birokrasi mempunyai catatan karier yang panjang jika dibandingkan dengan pejabat politik yang bukan spesialis. Berdasarkan asumsi tersebut maka birokrasi mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Berdasar itu maka kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana melainkan sebanding dengan pejabat politik. Birokrasi bukan merupakan partisipan politik akan tetapi karena keahliannya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang professional. Untuk memahami maka untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah didasarkan pada:
a. Perlu perundangan yang menjelaskan apa yang dimaksud pejabat politik dan jabatan karier dalam birokrasi pemerintah.
b. Perlu suatu identifikasi jabatan mana yang tergolong jabatan politik dan mana yang tergolong jabatan karier.
c. Perlu batasan tugas, tanggung jawab dan kewenangan dengan didasarkan pada perundangan antara kedua jabatan sehingga ketidakjelasan, kesimpangsiuran dan saling intervensi tidak terjadi.
d. Ditetapkan hubungan kerja diantara kedua jabatan dan pejabat tersebut.
e. Penegakan hukum yang nyata apabila terjadi ketidaksesuaian antara perundangan dan pelaksanaan kerja di lingkungan birokrasi pemerintah.
Jika ketentuan tersebut ditetapkan dalam undang-undang maka kedua jabatan itu akan saling mengisi, bukan saling menguasai yang bisa memicu konflik diantara keduanya.

IX. Netralitas Birokrasi Pemerintah
Netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (pejabat dari parpol yang memerintah) (Thoha, Miftah,2004,168). Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikitpun walaupun masternya berubah/berganti. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik. Masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik nampaknya tidak bisa dianggap ringan. Permasalahan netralitas tumbuh bersama dengan tumbuhnya demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik.
Jika kita mencermati perjalanan sejarah birokrasi, maka netralitas birokrasi pemerintah lepas dari pengaruh kekuatan partai politik belum pernah terwujud. Sebagai gambaran birokrasi 1955 terkotak-kotak pada pemihakan partai politik yang memimpin departemennya (Thoha, Miftah,2004,170). Begitu juga masa orde baru birokrasi pemerintah sewarna dengan kekuatan politik yang berkuasa (Golkar) di pemerintahan.
Jika birokrasi memihak pada salah satu kekuatan partai politik yang memerintah, maka dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berbeda dan rasa keadilan dan persamaan pelayanan tidak akan terwujud. Pelayanan birokrasi tidak mencerminkan sikap demokratis dan cenderung memberi peluang bagi suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Netralitas birokrasi diperlukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jika birokrasi pemerintah netral maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi pemerintah. Melayani rakyat secara keseluruhan artinya tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu kepentingan kelompok rakyat tertentu. Pemihakan kepada kepentingan seluruh rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi. Netralitas birokrasi pemerintah dari kelompok partai atau kekuatan politik tertentu akan mampu melahirkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
Birokrasi dan politik bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan. Bagi partai politik yang memenangkan suara dalam pemilihan umum, maka partai politik dalam suatu sistem negara demokrasi bisa memimpin dan mengendalikan pemerintahan. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan akan menjadi master (pimpinan puncak) bagi birokrasi pemerintah. Birokrasi bekerja sesuai dengan profesionalisme yang dituntut kepadanya sepanjang massa, dan tidak boleh terkontaminasi oleh warna politik yang datang silih berganti memimpinnya. Oleh karena itu, netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh warna politik diperlukan dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis.

X. Kesimpulan
Hubungan antara pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat (pejabat birokrasi) agar baik guna melaksanakan pembangunan untuk kepentingan masyarakat maka idialnya baik politisi maupun birokrasi menggunakan logika pelayan masyarakat. Apabila politisi masih mengutamakan kepentingan partai yang mengusungnya dan juga pejabat birokrasi menyusupkan kepentingan-kepentingannya yang “rasional” maka proses pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Dengan adanya kesamaan perspektif dari politisi dan pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat maka tujuan pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat akan lebih mudah diwujudkan. Kedua, karena birokrasi pemerintah terdiri dari pejabat politik dan pejabat birokrasi karier maka diperlukan suatu produk undangan-undang yang mengatur secara jelas batasan tugas, tanggung jawab dan kewenangan kedua jabatan dengan didasarkan pada perundangan sehingga ketidakjelasan, kesimpangsiuran dan saling intervensi tidak terjadi. Undang-undang tersebut nantinya perlu dilaksanakan dengan sepenuhnya jadi ada kemauan yang tinggi dari birokrasi pemerintah untuk menegakkan perundangan tersebut. Apakah para pejabat birokrasi dan politisi di negara kita mampu untuk melaksanakannya, maka tentunya memerlukan kontrol, dukungan dari segenap masyarakat.


Daftar Pustaka

Thoha, Miftah., 2004, Birokrasi dan Politik di Indoneisa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Budiman, Arif dan Ph. Quarles van Ufford (editor), 1988, Kerisis Tersembunyi dalam Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
Gutmann, Amy, dan Thompson, Dennis,1996, Democracy and Disagreement, The Belknap Press of, Harvard University Press, Cambridge, MA.
Dahl, Robert A, 1982, Dilemmas of Pluralist Democracy,Yale University Press, New Haven, MA.
Thoha, Miftah., 1999, Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah, dalam Harian Umum Republika, 8 November.
----------------, 1987,Perspektif Prilaku Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta.
Wibawa,Samudra, Good Governance dan otonomi Daerah, dalam Dwiyanto, Agus, 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada university Press,Yokyakarta.
Redford, Emmette S., 1996, Democracy in Administrative State, Oxford University Press, New York, NY.
Wilson, Woodrow, 1978, The Study of Administration, Political Science Quartely.
Kirwan, Kent A., 1987, Woodrow Wilson and The Study of Public Administration-Respon to Van Riper, Administration and Society dalam Thoha, Miftah., 2004, Birokrasi dan Politik di Indoneisa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Blau, Peter dan meyer, marshall W., 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Universitas Indonesia Press, edisi kedua.

TRANSPARANSI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH LOKAL UNTUK MENCIPTAKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh : Nanang Haryono


A. Pendahuluan
Semenjak digulirkannya gerakan reformasi politik tahun 1998 yang diikuti dengan runtuhnya pemerintahan orde baru, kebutuhan untuk adanya suatu pembaruan atau reformasi dalam tubuh birokrasi yang memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi sangat mendesak dilakukan. Pembaruan atau reformasi birokrasi dipandang merupakan langkah strategis menuju penyelenggaraan kepemerintahan yang demokratis dan efisien (good governance). Transparansi publik merupakan indikator yang sangat penting dalam pembangunan tata pemerintahan yang baik. Kebutuhan akan praktek pelayanan publik yang transparan dalam good governance di tingkat pemerintahan daerah saat ini menjadi suatu hal yang tidak terelakkan. Mengingat bahwa sebuah pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan institusi kelembagaan pemerintah yang transparan dan efektif untuk melayani kebutuhan kliennya-publik.[1] Praktek good governance menuntut pemerintah untuk menjamin keterbukaan akses informasi kepada stakeholders terhadap kebijakan publik dari pemerintah baik dalam konteks proses kebijakan publik, alokasi anggaran yang disalurkan untuk implementasi kebijakan maupun evaluasi dan kontrol terhadap praktek kebijakan yang dilakukan.
Keterbukaan akses informasi masyarakat disini menjadi penting agar masyarakat dapat mengawal proses pelaksanaan kebijakan pemerintah sehingga masyarakat dapat memastikan apakah alokasi anggaran yang telah dibelanjakan benar-benar dilakukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, informasi terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan memiliki manfaat untuk mengantisipasi terjadinya praktek-praktek korupsi terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintah yang berupa kebocoran alokasi anggaran yang menjadikan praktek pelaksanaan kebijakan publik menjadi tidak optimal.
Melalui pengedepanan aspek transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, maka publik dapat mengetahui informasi berbagai hal berkaitan dengan kebijakan publik. Informasi mengenai kebijakan pemerintah ini terkait dengan berbagai hal seperti motif tindakan dari birokrasi pemerintahan, bentuk tindakan serta waktu pelaksanaan dan cara tindakan tersebut dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan[2]. Tujuan dari transparansi adalah untuk menciptakan; 1) Informasi terbuka luas untuk masyarakat luas (sebagai data pemerintahan dan pembangunan ekonomi) 2) untuk membentuk aturan-aturan, regulasi dan kebijakan pemerintahan bagi publik secara jelas dan terbuka. Aturan dan prosedur yang transparan mencegah aparatur pemerintah dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan dengan ketersediaan informasi yang akurat dan memiliki interpretasi yang jelas. Aturan dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dapat melengkapi dan mendorong ketepatan prediksi terhadap kinerja pemerintahan, mengurangi ketidakpastian dan mencegah terjadinya korupsi dikalangan birokrat pelayan publik.[3] Perlunya transparansi dalam pengelolaan pemerintahan lokal didasari oleh semangat otonomi daerah yang berpijak pada UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Permasalahan yang sering muncul dalam transparansi publik pada hampir semua pemerintahan lokal diantaranya adalah masalah pengadaan barang untuk kepentingan publik. Tender pengadaan barang untuk kepentingan publik sering dinilai tidak transparan, syarat dengan KKN, tidak efektif dan efisien. Pemenang tender seringkali adalah orang-orang atau lembaga yang mempunyai hubungan khusus dengan para penyelenggara/panitia pelaksana tender. Pada masa orde baru (sebelum 1998) proyek pemerintah dalam pengadaan barang untuk publik seringkali dimenangkan oleh orang-orang yang dekat dengan penguasa dengan memberikan sejumlah imbalan. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik adalah penghamburan uang rakyat secara besar-besaran menurut perkiraan mencapai sampai 30 persen atau lebih dari nilai biaya total pengadaan barang dan jasa publik. Sayang, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik lebih banyak hanya diperbincangkan saja daripada diupayakan untuk dilenyapkan.[4] ) Begitu besarnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah maka menuntut upaya untuk perbaikan dalam tata pemerintahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut;
Bagaimana menciptakan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal?
Kebijakan apa yang harus diambil dalam usaha untuk mengantisipasi terjadinya praktek-praktek korupsi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintahan lokal?

C. Kerangka Teori
Kebijakan Publik
Untuk dapat menciptakan suatu keadaan masyarakat yang sejahtera salah satu cara yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan membuat suatu kebijakan publik. Setiap kebijakan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik (public interes)[5]. Kebijakan publik dapat diartikan sebagai suatu program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik.[6] Pengertian kebijakan juga dikemukakan oleh Carl J. Freederick yaitu serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[7] Berdasarkan pengertian seperti tersebut diatas kebijakan merupakan suatu tindakan yang mengacu pada tujuan tertentu, yang lebih kurang berkesinambungan dengan waktu dan diharapkan untuk menjaga keadaan tertentu. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa kebijakan (policy) adalah suatu tindakan terpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar untuk melakukan tertentu.[8]
Terdapat tiga elemen dalam sistem kebijakan yang saling berinteraksi. Sebuah sistem kebijakan (policy sistem) atau seluruh pola dimana kebijakan dibuat mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan.[9]
Tiga Elemen Sistem Kebijakan












Interaksi ketiga elemen tersebut akan menentukan tujuan kebijakan atau kebijakan itu sendiri. Uraian dari ketiga unsur itu adalah pertama pelaku kebijakan yaitu pihak-pihak baik individu atau kelompok baik pemerintah maupun non pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Kedua lingkungan kebijakan yaitu merupakan bidang-bidang kehidupan masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh pelaku kebijakan. Ketiga kebijakan publik itu sendiri yaitu serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk menjawab tantangan atau memecahkan masalah kehidupan masyarakat.
Penjelasan tersebut akan memberikan gambaran bahwa suatu kebijakan merupakan usaha-usaha dari pemerintah sebagai penentu akhir dari kebijakan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, dimana tujuan tersebut ditentukan oleh banyak faktor yang dapat digolongkan dalam ketiga unsur diatas. Ketiganya kemudian mempengaruhi arah kebijakan publik dalam usaha mencapai tujuan. Tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah menciptakan tata pemerintahan yang baik. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menerapkan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik. Dalam kebijakan transparansi dalam tender barang pemerintah ini yang menjadi aktor-aktor pelakunya adalah dari dua pihak yaitu pemerintah dan swasta. Pihak pemerintah yang terlibat disini adalah panitia lelang tender sedangkan pihak non pemerintah adalah para kontraktor yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi dagang. Lingkungan kebijakan adalah kehidupan masyarakat dimana pengadaan tender seperti jalan adalah untuk kepentingan publik dan menggunakan keuangan dari APBD. Kebijakan publik dalam hal ini adalah menciptakan transparansi dalam kerangka menciptakan good governance. Transparansi merupakan salah satu pilihan rasional yang dapat diterapkan dalam menjalankan pemerintahan untuk mengurangi penyelewengan dalam tender untuk kepentingan publik.

Good Governance
Konsep good governance sesungguhnya masih mengalami proses diskursif. Pada umumnya pemerintahan daerah (local government) memahami good governance sebagai transparansi, akuntabilitas dan peran-peran partisipatif. Dalam konteks keindonesiaan good governance dapat dicapai jika para pelayan publik (birokrasi) merubah sikap mereka dan melaksanakan pekerjaan mereka berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi kalangan LSM, pada satu sisi, memperhatikan aspek-aspek partisipatoris dan berpendapat bahwa good governance hanya bisa dicapai ketika ada ruang yang lebih luas untuk terlibat dalam pemerintahan. Pada kenyataannya di Indonesia, hal-hal tersebut tidak akan terpecahkan sampai praktik buruk (bad governance) dihapuskan dari birokrasi dan struktur kekuasan dirubah. Penyelenggara pemerintahan umumnya melihat good governance sebagai suatu hasil (suatu tujuan jangka panjang) dan sebaliknya para aktivis LSM melihatnya sebagai satu proses dengan tujuan yang lebih tinggi.[10] Bank Dunia mulai menggunakan istilah good governance pada laporan “Governance and Development” (1992), dimana good governance diperhatikan secara mendasar untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan pertumbuhan ekonomi pasar. Pada laporan World Development Report 2002 Bank Dunia dinyatakan sebagai berikut:
“Lembaga-lembaga yang mendukung pasar disediakan secara umum. Kemampuan negara menyediakan lembaga-lembaga oleh sebab itu merupakan kunci penentu pada sejauh mana individu-individu terlibat di dalam pasar dan bagaimana pasar bisa berfungsi dengan baik. Kesuksesan kelengkapan seperti lembaga tersebut ditujukan seringkali sebagai “good governance”. Good governance meliputi kreativitas, pelindung dan penguatan hak paten, tanpa pembatasan terhadap jangkauan pasar. Good governance juga termasuk pemerintah yang mendasarkan pada regulasi yang bekerja dengan pasar untuk menggalakkan persaingan bebas. Dan juga termasuk kelengakapan kebijakan makro ekonomi yang menciptakan lingkungan stabil untuk aktivitas pasar. Good governance juga berarti tidak adanya korupsi, dimana dapat merobohkan tujuan-tujuan kebijakan dan menggerogoti legitimasi dari lembaga-lembaga publik yang mendukung pasar”

Kaufman Direktur Program Global World Bank Institute lebih jauh memperjelas bahwa governance merupakan tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga dimana wewenang dalam negara digunakan untuk menciptakan kebaikan umum. Governance termasuk di dalamnya adalah:
Proses dimana mereka yang mendapat wewenang dipilih, diawasi dan digantikan (dimensi politik).
Kapasitas pemerintah mengelola secara efektif sumberdayanya dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya (dimensi ekonomi); dan
Penghargaan warga Negara dan negara untuk lembaga-lembaga Negara (dimensi penghargaan kelembagaan).
Selanjutnya Kaufmann menyebutkan ada enam dimensi good governance yang harus dihadapi, yaitu:
Informasi dan Akuntabilitas (Voice and Accountability)– mengukur politik, sipil dan hak asasi manusia.
Stabilitas politik dan kekerasan (Political Instability and Violence) – mengukur kemungkinan ancaman kekerasan, atau perubahan-perubahan, pemerintah, termasuk masalah terorisme.
Efektifitas pemerintahan (Government Effectiveness) – melakukan pengukuran tingkat kompetensi birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan.
Kendala peraturan (Regulatory Burden) – melakukan pengukuran/penilaian terhadap kejadian dari kebijakan-kebijakan yang tidak bersahabat dengan pasar.
Rule of Law – melakukan pengukuran kualitas penegakan perjanjian, kepolisian, dan peradilan, juga kemungkinan kejahatan dan kekerasan.
Kontrol korupsi (Control of Corruption) – melakukan pengukuran terhadap praktik mengambil keuntungan dengan kekuasaan publik, termasuk didalamnya korupsi kecil dan besar, dan pengambilan negara terhadap hak publik.
Beberapa kalangan CSOs (Civil Society Organizations) juga memberikaan tambahan atau tawaran mengenai apa yang dimaksud dengan good governance. Kalangan ini mencoba menjadikan pendekatan hak asasi manusia (HAM/human rights) sebagai tolak ukur good governance. Pendekatan hak asasi manusia pada pelaksanaan good governance memberikan landasan pemerintah bahwa pelaksanaan kebijakan harus dilandaskan pada hak asasi manusia.[11]
Menurut Max Weber[12] birokrasi adalah cermin hadirnya fenomena organisasi negara modern yang tujuannya mengelola administrasi kepemerintahan secara rasional dan impersonal. Karena itu, birokrasi menjadi organisasi yang vital dalam penyelenggaraan pemerintahan karena memang ia diciptakan sebagai alat untuk to serve public interest.Pengunaan konsep good governance dalam pemerintahan lokal dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mereformasi birokrasi. Adanya reformasi dalam birokrasi pemerintah merupakan gerakan politik yang menghendaki lahirnya orde politik yang demokratik dalam semua tingkatan relasi kekuasaan politik, yaitu antara negara dengan masyarakat, sesama lembaga kenegaraan/pemerintahan maupun antara masyarakat dengan lembaga-lembaga perwakilan politik resmi (parlemen).[13] Semangat perubahan politik lebih mengarah pada pemberdayaan politik civil society.

Transparansi Publik
Pada usaha untuk menciptakan sistem tata-kelola pemerintah yang baik (good governance) masing-masing pilar yakni akuntabilitas, partisipasi dan transparansi pada dasarnya saling mengandaikan. Seorang pakar menyebut;1) “sama halnya dengan perjuangan berbagi kelas dalam masyarakat (buruh, kelas menengah, kaum perempuan dan lainnya) berjuang agar suaranya didengar, maka berbagai lapisan masyarakat dewasa ini dipelopori kelas menengah berjuang untuk mendapatkan informasi (transparansi) dari pengelola kekuasaan”. Prosesnya disebut partisipasi dan hasilnya disebut pertanggungjawaban (akuntabilitas).
Keterbukaan pemerintah dalam informasi publik dapat dimanfaatkan oleh publik diantaranya :[14]
Publik yang banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi
Parlemen, pers dan publik dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan-tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan besar pada pertanggungjawaban pemerintah.
Pegawai negeri mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada orang banyak, dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya.
Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif dan membantu pengembangn kebijakan yang fleksibel; dan
Kerjasama publik dengan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang makin banyak tersedia.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi mengandaikan adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan pada ramah politik akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Sedangkan pada ramah sosial yang lain, keterbukaan informasi yang berkenaan dengan perencanaan, penganggaran, dan monitoring serta evaluasi program, yang mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya dan kalangan marjinal dan perempuan pada khususnya. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu : (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap aspek informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi.

Indikator dan Instrumen Transparansi[15]
Indikator
Transparansi tata pemerintahan memiliki indikator-indikator yang berfungsi sebagai paramaeter dari pelaksanaan transparansi. Indikator-indikator bagi transparansi tata pemerintahan tersebut meliputi: (a) Tersedianya mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi (b) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik. (c) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani aspirasi publik.
a) Tersedianya mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi:
Indikator ini mensyaratkan bahwa seluruh proses tata pemerintahan mulai dari pengorganisasian, alokasi anggaran sampai pada implementasi kegiatan harus terbuka secara penuh dan dapat dinilai dengan baik oleh warga masyarakat maupun stakeholders. Dalam konteks ini penyelenggara pelayanan publik yaitu aparat birokrasi harus menjelaskan secara penuh kepada stakeholders seluruh persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga dalam proses pelayanan publik.[16] Hal ini mengharuskan agar aparat pelayan publik melakukan upaya-upaya untuk menyebarluaskan informasi mengenai persyaratan yang harus diketahui oleh pengguna jasa pelayanan publik. Persoalannya selama ini adalah bahwa aparat pelayan publik merasa bahwa persayaratan tersebut merupakan urusan dari pengguna jasa pelayanan publik dan bukan menjadi tanggung jawab mereka. Hanya dengan memasang persyaratan yang ada di papan pengumuman institusi, mereka tidak melakukan upaya aktif untuk melakukan sosialisasi di tingkat masyarakat.

b) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik:
Indikator ini berkaitan dengan bahwa sebuah peraturan dan prosedur pelayanan publik harus cukup jelas dimengerti oleh pengguna jasa pelayanan publik. Aparat pelayan publik harus memiliki kemampuan dan tersedianya mekanisme dan prosedur yang memungkinkan agar pengguna jasa pelayanan publik dapat memahami dengan jelas mulai dari persyaratan, prosedur, biaya, waktu yang diperlukan oleh pengguna jasa pelayanan publik. Persolan yang ada selama ini bahwa fihak aparat birokrasi pemerintahan seringkali tidak mau memberikan penjelasan secara komprehensif tentang mengapa persyaratan, prosedur, waktu yang dibutuhkan bagi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik begitu lama.
Hal ini terjadi karena aparat birokrasi merasa mereka hanya menjalankan prosedur yang ada, tanpa memiliki pengetahuan yang memadai mengenai aturan dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik. Kondisi ini perlu diperbaiki untuk memperkuat kinerja pelayanan publik pemerintahan. Mereka harus mampu dan memiliki informasi yang jelas mengapa sebuah peraturan dibaut sebagaimana adanya. Bahkan fihak aparat pelayanan publik juga harus mampu melakukan evaluasi terhadap prosedur aturan pelayanan publik yang tidak dapat difahami dan menyusahkan pengguna jasa pelayanan publik. Sehingga di masa depan terjadi perbaikan performa penyelenggaraan pelayanan publik.

c) Tersedianya mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani aspirasi publik:
Indikator ini mensyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka aparat pelayan publik dituntut untuk memudahkan proses pelaporan dan penyebaran informasi kepada publik dan pengguna pelayanan publik dalam setiapn aspek penyelenggaraannya. Kemudahan bagi publik untuk mengakses informasi yang diperlukan oleh mereka menjadi salah satu parameter utama dari transparansi penyelenggaraan pelayanan publik. Ketika pengguna pelayanan publik dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai prosedur, persyaratan, waktu dan cara memperoleh pelayanan publik dengan baik menunjukkan tingginya tingkat transparansi pelayanan publik yang ada. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka aparat birokrasi pemerintahan secara katif dituntut untuk melakukan kerjasama baik dengan organisasi non pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun media massa untuk membantu penyelenggaraan pelayanan publik.

Pengadaan Barang untuk Kepentingan Publik
Perlunya transparansi dalam pengadaan barang publik akan meminimalkan praktik KKN. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik adalah penyebab utama dalam kasus-kasus pemecatan pejabat publik senior, yang tidak terhitung banyaknya, dan bahkan penyebab runtuhnya pemerintahan. Bagi orang awam, prosedur pengadaan barang dan jasa publik tampak rumit, atau mungkin bahkan penuh rahasia. Prosedur pengadaan barang dan jasa publik sering dimanipulasi dengan berbagai cara, tanpa banyak resiko akan ketahuan. Orang yang berniat melakukan korupsi, apakah memberi atau menerima suap, umumnya tidak menemui kesulitan menemukan orang lain yang mau diajak bekerja sama. Karena itu, perlu pengawasan yang efektif, karena orientasi penanggung jawab pengadaaan barang dan jasa publik (apakah pelaksana proses pengadaan atau pengambil keputusan akhir) jelas bukan melindungi uang mereka sendiri, tetapi membelanjakan uang “pemerintah”.
Selain aspek penegakan hukum dengan ratifikasi undang-undang anti-korupsi dan penataan perangkat kelembagaan, seperti pembentukan komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang lebih bersifat kuratif maka usaha-usaha preventif yang bisa dilakukan untuk melawan korupsi bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa publik melalui prosedur seleksi pemasok atau kontraktor berdasarkan persaingan yang sehat.

Pemerintahan Lokal

D. Alternatif Kebijakan
Permasalahan yang menyangkut transparansi dalam tender pengadaan barang publik dapat diatasi dengan alternatif kebijakan
eprocurement, ini merupakan suatu bentuk tender elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Transparansi alokasi anggaran yang akan dibelanjakan untuk pengadaan barang publik.
Bentuk transparansi ini memudahkan individu atau lembaga yang ingin mengikuti program tender dalam pengadaan barang publik.
Perkiraan hasil
Program tender dengan menggunakan eprocurementi hanya merupakan salah satu cara untuk mempermudah masyarakat mengakses segala informasi yang menyangkut tender pengadaan barang publik secara mudah. Namun demikian hal ini masih memerlukan bentuk-bentuk pengawasan yang ketat dari masyarakat karena meskipun terdapat keterbukaan dalam akses informasi keberpihakan untuk birokrasi pelaksanan tender masih dimungkinkan karena hal itu merupakan prilaku birokrat yang telah melembaga sejak lama.

E. Penilaian Alternatif
Pemahaman good governance-transparansi tidak ada permasalahan yang signifikan, tetapi pada level kemampuan mengimplementasikannya masih perlu proses kreativitas. Kesenjangan antara pengetahuan dan praktik nyata sehari-hari sesungguhnya bukan sesuatu yang khas dalam pengimplementasian good governance. Itu sebabnya studi administrasi negara (publik) mengembangkan subkajian khusus tentang implementasi kebijakan. Marilee Grindle (1982), misalnya, menganjurkan pentingnya menelaah saling kaitan antara content dan contexts suatu kebijakan dalam dinamika pengimplementasian kebijakan tersebut.
Penerapan transparansi sebagai bagian integral dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah tentulah merupakan produk kompromi politik, yang belum tentu merupakan sepakat bulat (kompromi sempurna) di antara semua pihak yang (diharapkan) terlibat dan/atau berkepentingan.[17] Transparansi memang sebuah inovasi kebijakan yang menjanjikan, tetapi tantangan yang ditimbulkannya dapat menyulitkan banyak pihak: pemerintah, pelaku-pelaku bisnis, bahkan mungkin publik sendiri. Penerapan transparansi seringkali dikaitkan secara positif dengan peningkatan efisiensi kebijakan publik, mereduksi praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, meningkatkan akuntabilitas, mengefektifkan the rule of law, menjamin efektivitas pencapaian tujuan institusi, dan sebagainya. Tetapi, sebaliknya juga banyak alasan untuk menawar, menunda, membatasi, atau bahkan menolak mempraktikkan dan membangun sistem transparasi secara sistematis dan konsisten. Hal-hal seperti keamanan nasional, keutuhan masyarakat, kerahasiaan jabatan/negara, privasi personal, ketidaksiapan kultural masyarakat, kesalahpahaman, kepanikan, penyalahgunaan informasi, dan sebagainya sering dipergunakan sebagai alasan untuk membatasi transparansi. Kerahasiaan dan transparansi rupanya dua hal yang harus ditempatkan pada ujung-ujung sebuah kontinum, dan keputusan untuk mengembangkan transparansi pada derajat dan jenis macam apa bisa dikatakan merupakan keputusan politik kompromis. Kompromi antara prinsip pengelolaan kehidupan bersama yang mengandalkan hubungan-hubungan hirarkhis-eksklusif dan hubungan yang bercorak kesetaraan.
Pada penerapan transparansi dalam pemerintahan mengandaikan keterbukaan sistem pemerintahan dan prosedur pembuatan keputusan terhadap peninjau eksternal. Praktik transparansi menyangkut jalinan interaksi yang kompleks antara penawaran dan permintaan akan layanan informasi dari penyelenggara pemerintahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan publik. Informasi yang disediakan haruslah objektif, akurat, lengkap, relevan, mudah diperoleh, dan mudah dimengerti. Pemerintah yang hendak memajukan transparansi tentu harus mempunyai kemampuan menghimpun, menganalisis, dan mendesiminasikan informasi secara teratur kepada stakeholders. Pemerintah sendiri sejak awal haruslah secara jelas merumuskan tujuan-tujuan yang bisa dimengerti dan diterima oleh publik, dan jangan memberikan harapan-harapan yang tidak realistis. Lebih dari itu, pengimplementasian sistem transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan menuntut adanya pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan reformasi administrasi. Seorang pemimpin eksekutif dengan kepemimpinan yang kuat akan dapat mengkoordinasi kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antarbanyak stakeholder maupun resistensi yang mungkin muncul..

F. Alternatif yang direkomendasikan
Penerapan sistem transparansi niscaya menciptakan sebuah “lingkaran tindakan” yang melibatkan penyediaan informasi baru, persepsi dan kalkulasi pengguna informasi, tindakan pengguna informasi, persepsi dan kalkulasi penyedia layanan, dan respons akhir penyedia layanan. Alternatif rekomendasi transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik oleh pemerintah lokal adalah:
Menerapkan eprocurement, yang merupakan cara paling mudah dimana publik mengakses informasi dari pemerintah. Hal ini juga harus dibarengi dengan
Meningkatkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi pada publik
Berfungsinya secara efektif the rule of law
Politik yang kompetitif
Pers yang bebas dan kompetitif
Adanya badan yang kompeten untuk mengaudit informasi
G. Kesimpulan
Menciptakan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal harus sinergi antara kebijakan pusat dan kebijakan di tingkat lokal. Disamping kebijakan perundangan dan perda yang jelas hal yang tidak kalah pentingnya adalah pada tahap implementasinya. Tahap ini merupakan tolok ukur keberhasilan dalam suatu kebijakan. Peran aktif masyarakat untuk melakukan kontrol juga mempengaruhi dalam keberhasilan pelaksanaan transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal. Tindakan yang perlu dilakukan adalah diantaranya a. Meningkatkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi pada publik; b. Berfungsinya secara efektif the rule of law; c. Politik yang kompetitif; d. Pers yang bebas dan kompetitif; e. Adanya badan yang kompeten untuk mengaudit informasi.
Kebijakan yang dapat diambil dalam usaha untuk transparansi dalam pengadaan barang untuk kepentingan publik pada pemerintah lokal adalah menerapkan eprocurement. Kebijakan ini bagus meskipun demikian dalam tahap implementasinya perlu didukung sikap pelaksana (disposisi) dari birokrasi untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Disamping itu masyarakat sebagai sasaran dalam kebijakan juga diperlukan dalam mendukung keberhasilan kebijakan. Sinerginya kebijakan publik, pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan akan dapat menciptakan kondisi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu transparansi untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik.




















Daftar Pustaka


Agus Dwiyanto, 2005, Transparansi Pelayanan Publik dalam Agus Dwiyanto (ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Francis Fukuyama, 2005, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Freedom Institute dan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Guenther Roth, Claus Wittich (ed) 1978, Max Weber Economy and Society, London, University of California Press.

Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi: Yayasan Obor Indonesia.

Kris Nugroho, 2006, Menumbuhkan Transparansi dan Akuntabilitas Birokrasi di Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni Surabaya.

Martha Meijer and T.K. Oey, 2002, Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise, September Amsterdam ).

Priyatmoko, 2006, Praktik Good Governance: Politik Transparansi dalam Konteks Pemerintahan Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni, Surabaya.

Robert Gregory, 1984, ”Knowledge as Power? An Overview”’ dalam Robert Gregory (ed.) The official Information Act: A Beginning (NZ Institut of Publik Administration, Wellington.

Sophal Ear, 2001, ADB Consultant, and UC Berkeley August 22, sophal@alumni.princeton.edu

Solichin A. Wahab, 1997, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, edisi II, Bumi Aksara, Jakarta.

William N. Dunn, 1998, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi II Gajah Mada University Press, Yokyakarta.

Undang-UndangUndang-Undang No 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[1] Francis Fukuyama. 2005. Memperkuat negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Freedom Institute dan PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
[2] Agus Dwiyanto. 2005. Transparansi Pelayanan Publik dalam Agus Dwiyanto (ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
[3] Sophal Ear, ADB Consultant, and UC Berkeley August 22, 2001 sophal@alumni.princeton.edu
[4] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Yayasan Obor Indonesia,2003,Hal 378.
[5] Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal 10
[6] Harrold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta,1990, hal 58.
[7] Carl J. Friedrick dalam Irvan Islamy, 1994, Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal 17
[8] Solichin A. Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, edisi II, Bumi Aksara, Jakarta, 1997
[9] William N. Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, edisi II Gajah Mada University Press, Yokyakarta, 1998, hal 109.
[10] Martha Meijer and T.K. Oey. Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise (September 2002 Amsterdam )

[11] Martha Meijer and T.K. Oey. Discussion Paper The Partnership for Governance Reforms in Indonesia A Midterm Monitoring Exercise (September 2002 Amsterdam ).
[12] Guenther Roth, Claus Wittich (ed) 1978, Max Weber Economy and Society, London, University of California Press. Hal. 220-221
[13] Kris Nugroho, Menumbuhkan Transparansi dan Akuntabilitas Birokrasi di Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006 di Surabaya.
[14] Robert Gregory,”Knowledge as Power? An Overview”’ dalam Robert Gregory (ed.) The official Information Act: A Beginning (NZ Institut of Publik Administration, Wellington, 1984
[15] Modul III, Membangun Transparansi Publik oleh Pemerintahan Lokal, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006, Surabaya.
[16] Agus Dwiyanto, op.cit. hal. 243.
[17] Priyatmoko, Praktik Good Governance: Politik Transparansi dalam Konteks Pemerintahan Daerah, Makalah Seminar Good Governance, PsaTS Unair dengan World Bank, 15 Juni 2006 di Surabaya.